Makalah Peranan Islam dalam Proses Integrasi Nasional
BAB
I
PROSES
PERKEMBANGAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DALAM PROSES INTEGRASI NUSANTARA
a. Kerajaan Demak
Ki
gending suro ,bangsawan demak diterima dan diangkat menjadi raja pertama dari
kesultanan palembang.Ini berarti adanya integrasi yang terdapat suatu kerajaan
yaitu antara kerajaan demak dan kesultanan palembang.adanya pengangkatan raja
tersebut membuktikan bahwa suatu kerajaan sudah mulai tidak memandang asal
orang tersebut,melainkan saling kepercayaan yang menumbuhkan bibit-bibit
integrasi nusantara.Integrasi nasional juga ditunjukan pada saat kegagalan pati
unus dari demak membantu mengusir portugis yang menaklukan malaka.walaupun
adipati unus gagal dalam menaklukan malaka akan tetapi tetap menjadi
pengharapan mulia dalam jiwa melayu.hal tersebut menunjukan mulai munculnya
rasa saling memiliki dan satu nasib yang nantinya akan menjadi cikal bakal
integrasi nusantara.
b. Kerajaan Makasar
Bukan
hanya keranjan demak yang memiliki integrasi nusantara kerajaan makasar juga
tidak mau ketinggalan hal tersebut dapat diperlihatkan dengan beberapa
peristiwa sebagai berikut.Turnojoyo sang pahlawan dari makasar bergabung
melawan belanda di kerajaan maksar dengan menggunakan bahsa persatuaan nusantara
yaitu bahasa melayu,integrasi dalam proses i i adala integrasi yang melalui
media bahasa.kerajaan makasar yang dulunya adalah kerajaan gowa-tallo kemudian
bersatu menjadi kerajaan makasar hal ini menunujukan sikap toleransi antara
kerajan yang termasuk proses integrasi di nusantara.
c. Kerajaan Mataram
Integrasi
nusantara di kerajaan mataram antara lain adalah syekh Yusuf Tajul-Khalawati
dari makasar diangkat oleh Sultan Agung Tirtayasa menjadi mufti kesultanan
kerajaan banten dan bersama-sama berjuang melwan belanda.sifat kebersamaan
dalam melawan belanda itulah yang menyebabkn rasa satu nasib dan kesamaan latar
belakang yang membetuk integrasi nusantara rasa kepercayaan itu juga yang
menyebabkan intergrasi nasional mulai muncul pada masa itu.selain itu masih ada
bentuk integrasi nusantara lain di kerajaan mataram yaitu tatkala usai perang
diponegoro di jawa,Belanda mengirim Sentot Ali Basyah dari jawa ke Minagkabau
untuk memerangi kaum paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam bonjol.namu setelah
sampai sento membatu belanda untuk mengetahui celah dan kelemahan
belanda.Merasa iba dengan saudara-saudara seagama dan sebangsa maka sentot
pindah memihak kepada kaum paderi.usaha dalam integasi nasional juga terlihat
dari tindkan mas jolang yang ingin mempeersatukan pulau jawa dibawah kekuasaan
kerajaan mataram.
BAB
II
PERAN
BAHASA DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA
Bahasa
merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di seluruh
pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah
menjadi bahasa resmi Negara Melayu (Jambi). Pada masa kejayaan Kerajaan
Sriwijaya, bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi dan bahasa ilmu pngetahuan. Hal
ini dapat dilihat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo
tahun 684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun
686 M.
Para pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara,
juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian,
berkembanglah bahasa Melayu ke seluruh Kepulauan Nusantara. Pada mulanya bahasa
Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Lambat laun bahasa Melayu tumbuh
menjadi bahasa perantara dan lingua franca (pengantar) di seluruh Kepulauan
Nusantara. Di Semenanjung Malaka (Malaysia seberang), pantai timur Pulau
Smuatra, pantai barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai
Kalimantan, penduduk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.
Masuk dan berkembangnya Islam mendorong berkembangnya
bahasa Melayu. Buku-buku agama dan tafsir Al Qur’an mempergunakan bahasa
Melayu. Ketika menguasai Malaka Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan
menggunakan bahasa Portugis, namun kurang berhasil. Pada tahun 1641 VOC merebut
Malaka dan kemudian mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa
Melayu. Jadi secara tidak langsung kedatangan VOC juga mengembangkan bahasa
Melayu.
BAB
III
PERAN
PEDAGANG DAN PELAYARAN DALAM INTEGRASI NASIONAL
Pelayaran
dan perdagangan antarpulau di kawasan Nusantara merniliki peran penting dalam
proses integrasi bangsa Indonesia. Peranan tersebut dapat dilihat pada tiga hal
penting. Seperti yang akan diuraikan berikut ini.
1. Menghubungkan Penduduk Satu Pulau
Dengan Lainnya.
Dengan
adanya pelayaran dan perdagangan antarpulau, terjadilah hubungan antar penduduk
satu pulau dengan pulau lainnya. Penduduk di ujung Nusantara bagian timur bisa
berhuburtgan dengan penduduk yang tinggal di ujung Nusantara bagian Barat.
Penduduk kota-kota pelabuhan di pulau Nusantara sebelah selatan, seperti Jawa
dan Nusa Tenggara, bisa berhubungan dengan penduduk yang berada di kota-kota
pelabuhan Nusantara bagian utara, seperti Aceh, Malaka, Makasar, dan lain-lain.
Dengan jalur hubungan pelayaran dan perdagangan tersebut, maka tidak ada pulau
atau daerah di Indonesia yang terisolasi atau tidak pernah berhubungan dengan
penduduk yang berasal dari daerah lainnya.Dalam pelayaran dan perdagangan, laut
memegang p eranan yang sangat penting. Laut digunakan sebagai jalan bebas
harnbatan yang bisa digunakan oleh penduduk pulau mana pun. Dengan demikian,
laut Nusantara dan selat-selat yang memisahkan pulau-pulau bukan merupakan
pemisah atau pembatas penduduk yang tinggal di satu pulau dengan penduduk yang
tingggal di pulau lainnya. Laut merupakan jalan penghubung sekaligus sebagai
pemersatu penduduk yang tinggal di kepulauan Nusantara.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antarpulau yang sangat ramai pada abad 15- 16 Masehi sebenarnya telah dirintis sejak zaman prasejarah dan diteruskan oleh zaman kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Walaupun tidak diketahui dengan pasti bagaimana pelayaran zaman prasejarah, kedatangan bangsa Austronesia ke kepulattan Nusantara bukan melalui darat, karena sejak 4000 tahun yang lalu kepulauan Nusantara sudah terpisah dari daratan Asia. Diduga bahwa kedatangan bangsa tersebut menggunakan jalur laut. Dengan demikian, sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia memiliki tradisi bahari, yaitu tradisi kehidupan masyarakat yang menggunakan laut sebagai sarana kehidupan. Bagi masyarakat bahari, laut merupakan bagian dari kehidupan mereka. Laut digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber kehidupan, jalur pelayaran, dan perdagangan. Pada zaman Hindu dan Budha, pelayaran dan perdagangan Nusantara sudah mulai ramai dirintis oleh kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya adalah kerajaan maritim, pelayaran antarpulau merupakan kegiatan ekonomi terpenting. Pada zaman kerajaan ini, terdapat pelabuhan-pelabuhan penting, seperti, Palembang, Kampar, Indragiri, Sunda Kelapa dan lain-lain. Melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut, terjadi hubungan pelayaran dan perdagangan. Pada zaman Majapahit, hubungan antarpulau lebih ramai lagi terutama setelah Gajah Mada mengeluarkan konsepsi Nusantara melalui Sumpah Palapanya. Untuk mengaplikasikan penyatuan Nusantara tersebut tentu diperlukan adanya ekspedisi dari pusat kerajaan Majapahit ke pusat pemerintahan lokal yang ingin disatukannya. Sebaliknya, dari kerajaan-kerajaan kecil Nusantara yang telah ditaklukkan dikirim upeti ke pusat kerajaan Majapahit yang juga dilakukan melalui jalan laut. Dengan demikian, melalui kegiatan politik dan perdagangan pada zaman kerajaan Hindu-Budha, terjadilah hubungan antarpulau dan antarpenduduk di wilayah Nusantara. Dengan masuknya pengaruh Islam, maka pelayaran dan perdagangan Nusantara mengalami kejayaan. Pada zaman ini, terjadi hubungan antara penghasil barang dagangan dengan pusat-pusat penjualan barang dagangan. Kota-kota pelabuhan Nusantara menjadi pusat pertemuan pedagang yang datang dari berbagai pulau dan memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Pedagang Islam di kawasan Nusantara bagian barat bukan hanya berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara sebelah barat melainkan juga ke timur. Demikian juga sebaliknya, para pedagang dari Ambon, Ternate, Tidore dan Makasar, Banjarmasin, dan lain-lain berlayar dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara barat seperti Pasai, Malaka, Banten, Sunda Kelapa, Gresik, dan lain-lain. Para pedagang Jawa yang berdagang di Banten memperoleh barang dagangan berupa rempah-rempah dari Maluku. Demikian juga para pedagang dari Ternate, Tidore, dan Makasar mengangkut beras dari Jawa dan menjualnya di pelabuhan-pelabuhan Nusantara Timur.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antarpulau yang sangat ramai pada abad 15- 16 Masehi sebenarnya telah dirintis sejak zaman prasejarah dan diteruskan oleh zaman kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Walaupun tidak diketahui dengan pasti bagaimana pelayaran zaman prasejarah, kedatangan bangsa Austronesia ke kepulattan Nusantara bukan melalui darat, karena sejak 4000 tahun yang lalu kepulauan Nusantara sudah terpisah dari daratan Asia. Diduga bahwa kedatangan bangsa tersebut menggunakan jalur laut. Dengan demikian, sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia memiliki tradisi bahari, yaitu tradisi kehidupan masyarakat yang menggunakan laut sebagai sarana kehidupan. Bagi masyarakat bahari, laut merupakan bagian dari kehidupan mereka. Laut digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber kehidupan, jalur pelayaran, dan perdagangan. Pada zaman Hindu dan Budha, pelayaran dan perdagangan Nusantara sudah mulai ramai dirintis oleh kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya adalah kerajaan maritim, pelayaran antarpulau merupakan kegiatan ekonomi terpenting. Pada zaman kerajaan ini, terdapat pelabuhan-pelabuhan penting, seperti, Palembang, Kampar, Indragiri, Sunda Kelapa dan lain-lain. Melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut, terjadi hubungan pelayaran dan perdagangan. Pada zaman Majapahit, hubungan antarpulau lebih ramai lagi terutama setelah Gajah Mada mengeluarkan konsepsi Nusantara melalui Sumpah Palapanya. Untuk mengaplikasikan penyatuan Nusantara tersebut tentu diperlukan adanya ekspedisi dari pusat kerajaan Majapahit ke pusat pemerintahan lokal yang ingin disatukannya. Sebaliknya, dari kerajaan-kerajaan kecil Nusantara yang telah ditaklukkan dikirim upeti ke pusat kerajaan Majapahit yang juga dilakukan melalui jalan laut. Dengan demikian, melalui kegiatan politik dan perdagangan pada zaman kerajaan Hindu-Budha, terjadilah hubungan antarpulau dan antarpenduduk di wilayah Nusantara. Dengan masuknya pengaruh Islam, maka pelayaran dan perdagangan Nusantara mengalami kejayaan. Pada zaman ini, terjadi hubungan antara penghasil barang dagangan dengan pusat-pusat penjualan barang dagangan. Kota-kota pelabuhan Nusantara menjadi pusat pertemuan pedagang yang datang dari berbagai pulau dan memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Pedagang Islam di kawasan Nusantara bagian barat bukan hanya berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara sebelah barat melainkan juga ke timur. Demikian juga sebaliknya, para pedagang dari Ambon, Ternate, Tidore dan Makasar, Banjarmasin, dan lain-lain berlayar dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara barat seperti Pasai, Malaka, Banten, Sunda Kelapa, Gresik, dan lain-lain. Para pedagang Jawa yang berdagang di Banten memperoleh barang dagangan berupa rempah-rempah dari Maluku. Demikian juga para pedagang dari Ternate, Tidore, dan Makasar mengangkut beras dari Jawa dan menjualnya di pelabuhan-pelabuhan Nusantara Timur.
2. Proses Percampuran dan Penyebaran
Budaya Satu Daerah Terhadap Daerah Lainnya.
Setelah
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, sebagian kegiatan perdagangan
Nusantara dialihkan ke Aceh, Banten, Makasar, Gresik, dan lain-lain. Di
kota-kota tersebut, seperti halnya di Malaka sebelum 1511, terjadi pertemuan
antara berbagai suku bangsa. Dari pertemuan itu, terjadilah pertukaran
pengalaman, pengetahuan, dan adat-istiadat yang berbeda-beda. Dengan datangnya
bangsa Portugis, Spanyol, kemudian disusul oleh Belanda terjadi hubungan yang
lebih erat di antara para pedagang Nusantara. Eratnya hubungan tersebut
dibuktikan dengan semakin ramainya pelabuhan-pelabuhan Nusantara setelah
jatuhnya Malaka.
Tampaknya, adanya monopoli perdagangan Portugis di Malaka menyebabkan solidaritas pedagang Nusantara lebih meningkat. Semakin ramainya pelabuhan-pelabuhan Nusantara tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih memilih berdagang dengan sesama suku bangsa di Nusantara, daripada dengan bangsa lain.
Tampaknya, adanya monopoli perdagangan Portugis di Malaka menyebabkan solidaritas pedagang Nusantara lebih meningkat. Semakin ramainya pelabuhan-pelabuhan Nusantara tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih memilih berdagang dengan sesama suku bangsa di Nusantara, daripada dengan bangsa lain.
3. Percepatan Proses Integrasi Bangsa
Masuknya
bangsa Barat (Eropa) di kawasan Nusantara yang memaksakan monopoli perdagangan,
berpengaruh terhadap proses integrasi bangsa sejak abad ke-16. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, melalui perdagangan antarpulau pada zaman
kejayaan Islam terjadi pertukaran budaya, pengalaman, dan pengetahuan yang
berasal dari pedagang yang memiliki latar belakang etnis berbeda-beda tersebut.
Mereka melihat bahwa terdapat persamaan di antara mereka, seperti, agama yang
dianut, budaya, bentuk fisik , dan warna kulit. Mereka melihat bahwa pedagang
Nusantara memiliki persamaan. Persamaan tersebut semakin terasa setelah
dibandingkan dengan agama, warna kulit, dan bentuk fisik pedagang Barat.
Kedua, perasaan sama di antara mereka semakin meningkat setelah sama-sama dirugikan oleh pendatang Barat melalui politik monopoli, pembatasan, kekerasan, dan kelicikan. Dengan demikian, timbullah solidaritas di antara para pedagang Nusantara untuk menghadapi kekuatan pedagang asing tersebut. Walaupun secara politis hal itu tidak dibuktikan dalam tindakan perlawanan bersama, perasaan solidaritas telah memperkuat aspek ideologis atau moral bahwa monopoli, pemaksaaan kehendak, kekerasan, dan kelicikan pedagang Barat harus dilawan. Perkembangan historis dalam aspek pelayaran dan perdagangan tersebut berpengaruh terhadap proses integrasi bangsa. Secara historis, dapat dikatakan bahwa konsep bangsa ditandai dengan adanya persamaan dalam hal budaya, sistem kepercayaan, adat istiadat, dan kepentingan bersama. Para pedagang Nusantara memiliki kepentingan bersama untuk mengambil perannya kembali di bidang perdagangan setelah kejayaan mereka diruntuhkan oleh kelicikan dan monopoli dagang bangsa Eropa. Sikap fair (wajar) berupa persaingan bebas dan terbuka melalui laut Nusantara ternyata disalahgunakan oleh pedagang Barat. Sikap solidaritas sebagai satu bangsa, timbul setelah mereka memiliki kepentingan bersama untuk menghadapi monopoli dan kelicikan padagang asing tersebut. Walaupun secara politis baru terwujud pada abad ke-20 (17 Agustus 1945), konsepsi bangsa yang terintegrasi sudah dirintis melalui perkembangan historis pelayaran dan perdagangan sejak abad ke-16.
Kedua, perasaan sama di antara mereka semakin meningkat setelah sama-sama dirugikan oleh pendatang Barat melalui politik monopoli, pembatasan, kekerasan, dan kelicikan. Dengan demikian, timbullah solidaritas di antara para pedagang Nusantara untuk menghadapi kekuatan pedagang asing tersebut. Walaupun secara politis hal itu tidak dibuktikan dalam tindakan perlawanan bersama, perasaan solidaritas telah memperkuat aspek ideologis atau moral bahwa monopoli, pemaksaaan kehendak, kekerasan, dan kelicikan pedagang Barat harus dilawan. Perkembangan historis dalam aspek pelayaran dan perdagangan tersebut berpengaruh terhadap proses integrasi bangsa. Secara historis, dapat dikatakan bahwa konsep bangsa ditandai dengan adanya persamaan dalam hal budaya, sistem kepercayaan, adat istiadat, dan kepentingan bersama. Para pedagang Nusantara memiliki kepentingan bersama untuk mengambil perannya kembali di bidang perdagangan setelah kejayaan mereka diruntuhkan oleh kelicikan dan monopoli dagang bangsa Eropa. Sikap fair (wajar) berupa persaingan bebas dan terbuka melalui laut Nusantara ternyata disalahgunakan oleh pedagang Barat. Sikap solidaritas sebagai satu bangsa, timbul setelah mereka memiliki kepentingan bersama untuk menghadapi monopoli dan kelicikan padagang asing tersebut. Walaupun secara politis baru terwujud pada abad ke-20 (17 Agustus 1945), konsepsi bangsa yang terintegrasi sudah dirintis melalui perkembangan historis pelayaran dan perdagangan sejak abad ke-16.
BAB
IV
PERANAN
PARA ULAMA DALAM PROSES INTEGRASI
Integrasi
Nusantara
Islam
membawa masyarakat Nusantara memasuki era modernisasi dan globalisasi. Akan
tetapi yang paling signifikan adalah penanaman benih-benih integrasi di
kalangan suku-suku di Nusantara, yang buahnya kita nikmati hari ini berupa
“Persatuan Indonesia” yang sering kita banggakan. Setelah Islam tersebar di
Nusantara, mulailah berlangsung persaudaraan dan pembauran antar suku yang
belum pernah ada sebelumnya.
Baru
pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh
penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal,
karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara”.
Berabad-abad
sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali
ditanamkan oleh Islam. Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman
dahulu seperti Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad
al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten),
Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi
(Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-Maqashshari (Makassar), dan lain-lain. Semua
mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), walaupun dari suku mana pun dia
berasal.
Berabad-abad
sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson
Logan tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang
Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan kita Jaza’ir
al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering
dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian
kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. Jika diterjemahkan “Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”
Sangat
menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut :
Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang
Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai siapa nama dan apa bangsa,
mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan saya bangsa Jawa! Terus datang
pertanyaan lagi: Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa Sunda, Jawa Bugis,
Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa Meriki. Padahal orang-orang
berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat
memberikan jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada
baru Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah
kita bersaksi kepada sejarah, mari kita buka kartu sekarang: siapakah yang
terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau bukan bangsa Indonesia yang
beragama Islam? (Rubrik “Dari Hati ke Hati”, majalah Pandji Masjarakat,
No.4, 20 November 1966).
Sebelum
Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan
Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan
penyebaran Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga
memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan
digunakan Huruf Arab-Melayu atau Huruf Jawi, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi
yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik
menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya;
huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan
huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari
Aceh sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.
Bahasa
Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan
Baabullah dari Ternate kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin
Riayat Syah dari Aceh kepada Ratu Elizabeth I di Inggris tahun 1601, dan surat
Pangeran Aria Ranamanggala dari Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan
Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai bahasa Melayu. Itulah sebabnya
Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya Itinerario tahun 1595, wanti-wanti
berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan Hindia harus tahu
bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van
Linschoten, seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh
penduduk Hindia sebagai bagian dari komunitas mereka.
Dari
seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan
Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal
abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu
segera memperoleh tanggapan positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal
itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional
memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya
di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.
Peran
Ulama
Agama
Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan
danmengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan
persamaan dan tidakmengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep
ajaran Islam memunculkan perilaku kearah persatuan dan persamaan derajat.
Disisi lain, datangnya pedagang-pedagang Islam diIndonesia mendorong
berkembangnya tempat-tempat perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat
perdagangan itu kemudian berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai.
Bahkan kota-kota pantai yang merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang
menjadi kerajaan.Timbulnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal terjadinya
proses integrasi. Meskipun masing-masing kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung
yang berbeda-beda dalam proses integrasinya.
Cara
perkembangan dan penyebaran agama islam di Indonesia adalah dengan cara damai,
cara-cara tersebut juga digunakan para ulama dan dai untuk menyiarkan agama
islam. Penyebaran ini didukung oleh hubungan perdagangan antara pedagang islam
dengan bangsawan pribumi. Melalui hubungan itulah islam diterima oleh
masyarakat. Jalur persebarannya yaitu dengan jalur perkawinan, perdagangan,
kesenian dan lain-lain.
Intregasi
artinya penyatuan, wali songo berperan dalam proses integrasi nasional seperti
pada bidang sastra yaitu bahasa melayu. Dulu bahasa itu hanya bagi bangsawan,
namun dengan adanya para wali yang menjadikan bahasa itu sebagai bahasa
nusantara yang kelak menjadi bahasa persatuan Indonesia. Bidang pendidikan
yaitu dengan adanya pesantren pesantren yang kelak akan mengambil andil dalam
memerangi penjajah.
Peranan
wali songo dalam proses integrasi bangsa juga sebagai pelopor agama islam bagi
bangsa indonesia. Karena melalui wali songo masyarakat indonesia terdahulu
mempercayai dan meyakini agama islam berkat adanya peranan wali songo.
Sampailah pada akhirnya indonesia menjadi negara mayoritas beragama islam yang
cukup besar di dunia.
KESIMPULAN
Dengan
menengok kembali perkembangan sejarah bangsa Indonesia abad ke-16 sampai 19
banyak pelajaran yang dapat diambil oleh generasi sekarang.
Pertama, integrasi suatu bangsa merupakan suatu proses historis yang panjang. Dengan demikian, integrasi tidak dilakukan dalam satu atau dua kejadian sejarah, tetapi terjadi dalam suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita merasa sebagai satu bangsa karena ada keterikatan budaya satu dengan lainnya, ada persamaan kepentingan, menggunakan bahasa yang sama, mengakui sistem nilai yang sama, ada persamaan identitas, dan ada solidaritas sebagai satu bangsa yang sama. Kedua, semakin sering terjadi hubungan atau komunikasi, kontak budaya, dan pergaulan antargolongan suku bangsa di Indonesia, akan semakin baik guna terbentuknya identitas bangsa. Melalui komunikasi yang terbuka antarsuku bangsa maka sikap prasangka, sentimen kesukuan atau kedaerahan, lambat laun dapat dihilangkan. Dengan demikian, proses integrasi akan lebih cepat: Ketiga, semakin terdidik suatu bangsa, semakin baik paham kebangsaan bangsa itu. Dalam hal ini, pandangan sempit kedaerahan, kesukuan, agama, dan lain-lain bisa dihilangkan melalui pendidikan. Melalui pendidikan, cara pandang orang tentang diri dan lingkungannya akan meluas. Lingkungan hidup mereka bukan hanya daerah dan suku bangsa yang berada di sekitarnya, melainkan juga daerah dan suku bangsa yang berada di luar lingkungan geografis mereka. Keempat, dalam perkembangan proses integrasi terdapat faktor yang memperkuat dan faktor yang memperlemah. Faktor penguat telah diuraikan di atas. Faktor yang memperlemah meliputi sikap primordialisme, kesukuan, kedaerahan, diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, kemiskinan dan kebodohan, isolasi, masuknya paham asing yang negatif, eksklusifisme, fanatisme agama yang sempit, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, sehingga tidak bisa didefinisikan secara khusus.
Pertama, integrasi suatu bangsa merupakan suatu proses historis yang panjang. Dengan demikian, integrasi tidak dilakukan dalam satu atau dua kejadian sejarah, tetapi terjadi dalam suatu proses yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita merasa sebagai satu bangsa karena ada keterikatan budaya satu dengan lainnya, ada persamaan kepentingan, menggunakan bahasa yang sama, mengakui sistem nilai yang sama, ada persamaan identitas, dan ada solidaritas sebagai satu bangsa yang sama. Kedua, semakin sering terjadi hubungan atau komunikasi, kontak budaya, dan pergaulan antargolongan suku bangsa di Indonesia, akan semakin baik guna terbentuknya identitas bangsa. Melalui komunikasi yang terbuka antarsuku bangsa maka sikap prasangka, sentimen kesukuan atau kedaerahan, lambat laun dapat dihilangkan. Dengan demikian, proses integrasi akan lebih cepat: Ketiga, semakin terdidik suatu bangsa, semakin baik paham kebangsaan bangsa itu. Dalam hal ini, pandangan sempit kedaerahan, kesukuan, agama, dan lain-lain bisa dihilangkan melalui pendidikan. Melalui pendidikan, cara pandang orang tentang diri dan lingkungannya akan meluas. Lingkungan hidup mereka bukan hanya daerah dan suku bangsa yang berada di sekitarnya, melainkan juga daerah dan suku bangsa yang berada di luar lingkungan geografis mereka. Keempat, dalam perkembangan proses integrasi terdapat faktor yang memperkuat dan faktor yang memperlemah. Faktor penguat telah diuraikan di atas. Faktor yang memperlemah meliputi sikap primordialisme, kesukuan, kedaerahan, diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, kemiskinan dan kebodohan, isolasi, masuknya paham asing yang negatif, eksklusifisme, fanatisme agama yang sempit, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, sehingga tidak bisa didefinisikan secara khusus.
1.
Primordialisme
Primordialisme adalah
sikap yang lebih mernentingkan kepentingan golongan berdasarkan identitas
daerah, agama, suku, atau golongannya. Primordialisme (prima, primus atau yang
utama) adalah satu sikap dan pandangan yang sempit karena lebih mengutamakan
identitas atau kepentingan daerah, suku, atau budaya lokalnya dibandingkan
dengan kepentingan bangsa. Dengan demikian, pandangan primordialisme sering
disebut sebagai paham kedaerahan, kesukuan, fanatisme agama yang sempit, dan
lain-lain.
2.
Diskriminasi
Golongan masyarakat yang menganut paham
primordialisme kemungkian akan melakukan diskriminasi atau sikap dan tindakan
membeda-bedakan orang berdasarkan golongan, suku, agama, dan lain-lain. Dengan
diskriminasi, golongan, suku, atau penganut agama yang samalah yang diutamakan,
sedangkan golongan lain diabaikan.
3.
Kebodohan
dan Isolasi
Masyarakat yang bodoh
biasanya memiliki pandangan yang sempit. Mereka mengisolasi diri dalam
lingkungan tempat tinggalnya. Mereka memandang dunia ini hanya terbatas pada
lingkungan sosialnya. Di luar lingkungan sosial mereka adalah orang lain atau
orang asing yang dipandang berbeda dengan mereka. Kondisi masyarakat sepeti ini
merupakan faktor penghambat integrasi karena akan sangat mudah dipecah-pecah
oleh golongan yang berniat untuk mengadakan perpecahan atau disintegrasi.
Kesenjangan sosial
ekonomi, baik kesenjangan antargolongan masyarakat ataupun kesenjangan
antardaerah, adalah faktor yang memperlemah integrasi. Apabila kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin ini terjadi kebetulan pada
etnis atau golongan tertentu, maka yang muncul adalah sikap prasangka dan
kecemburuan dari golongan yang miskin terhadap yang kaya. Apabila kebetulan
yang miskin dan yang kaya tersebut berasal dari etnis atau suku yang berbeda,
maka isyu yang muncul ke permukaan bukan masalah kesenjangan sosial-ekonominya
melainkan soal etnis atau suku bangsa. Faktor ini malah jauh lebih buruk
dibandingkan faktor-faktor di atas. Alasannya adalah karena aspek sosial
ekonomi merupakan aspek yang paling mendasar yang berkaitan dengan kebutuhan
manusia. Gerakan disintegrasi yang terjadi di beberapa kawasan dunia seperti di
Eropa Timur, Uni Soviet (sebelum pecah), Yugoslavia, dan lain-lain dapat
dijadikan sebagai contoh betapa faktor kesenjangan mempercepat disintegrasi
bangsa. Walaupun dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, gerakan disintegrasi
di kawasan tersebut memperlihatkan kuatnya kesenjangan sosial ekonomi dan
kesenjangan daerah. Daerah-daerah miskin yang dihuni oleh etnis tertentu merasa
didominasi oleh etnis lain yang berhasil dalam bidang ekonomi. Pertentangan
antaretnis atau golongan di negara-negara tersebut menyebabkan terjadinya
disintegrasi atau perpecahan. Pecahnya Uni Soviet, Yugoslavia, dan
Chekoslovakia dapat dijadikan bahan pelajaran betapa masalah kesenjangan sosial
ekonomi memiliki pengaruh yang paling buruk terhadap keutuhan suatu bangsa. Proses
integrasi bangsa Indonesia yang dimulai sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 dan
diteruskan pada abad ke-20 melalui gerakan kebangsaan sebenarnya tidak berakhir
sampai terbentuknya negara kesatuan RI, 17 Agustus 1945, melainkan terus
berlanjut, sampai sekarang. Selama proses tersebut berlangsung maka kedua
faktor penguat dan penghambat akan terus berhadapan. Mengenai faktor mana yang
akan lebih kuat mempengaruhi proses integrasi tergantung bagaimana bangsa dan
negara tersebut memperjuangkannya. Apabila faktor penguat itu terus dipelihara
dan faktor penghambat terus dihilangkan, maka integrasi bangsa tetap terjaga.
0 komentar:
Post a Comment